Review Film: One Child Nation
OMNIA SLOT - "Lebih baik pertumpahan darah ketimbang melahirkan lebih dari satu anak."
Tulisan berwarna merah darah tersebut terlukis di tembok-tembok di berbagai penjuru desa di China pada medio 1980-an.
Lahir dan tumbuh di pinggiran China pada era tersebut, Nanfu Wang tak pernah menyadari kebrutalan dan bahaya laten akibat propaganda pemerintah itu. Hingga akhirnya, Nanfu melahirkan anak sendiri dan mengetahui ikatan kuat antara seorang ibu dan sang buah hati.
Ia lantas membidani kelahiran dokumenter bertajuk One Child Nation, sebuah film yang berhasil menumbuhkan perspektif komprehensif akan bahaya laten kebijakan satu anak di China, dalam balut hangat empati dan sinematografi apik.
Dikutip Omnia Slot, Secara garis besar, film ini merekam perjalanan Nanfu menggali kembali memori akan satu propaganda yang diterapkan oleh pemerintah China pada 1979 hingga 2015.
Kala itu, China dirundung masalah populasi berlebih. Dengan dalih menghindari bencana kelaparan besar-besaran di kemudian hari, Negeri Tirai Bambu menerapkan kebijakan satu anak per keluarga inti.
Pemerintah menghalalkan segala cara agar kebijakan tersebut tetap berjalan, termasuk dengan mengaborsi paksa ibu yang kedapatan memiliki lebih dari satu anak.
Berangkat dari pengalamannya sendiri, Nanfu membawa penonton masuk ke dalam kisah mengenai kebijakan dingin pemerintah itu dari perspektif penuh kehangatan, berbeda dengan dokumenter soal "satu anak" lainnya yang cenderung kaku.
Melalui bincang hangat dengan ibunya di ruang keluarga, diskusi ringan antartetangga bersama kepala desanya, hingga curhat bidan yang mengaborsi ratusan ribu bayi, Nanfu berhasil menghadirkan sudut pandang berbeda dari dokumenter pada umumnya.
Jika dalam sejumlah dokumenter singkat lainnya penegak kebijakan selalu dibingkai hanya sebagai pihak keji, Nanfu dapat menggali kisah sentimentil yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka juga menjadi korban kekejian propaganda pemerintah.
Kepala desa terpaksa melawan rasa kemanusiaannya, sementara sang bidan harus hidup dalam trauma dan rasa ingin membayar semua nyawa.
Baca Juga : " Menpora Minta Persikabo dan PSSI Taat Hukum Soal Sponsor Judi "
Meski kontennya berat, semua kisah meluncur begitu saja dari mulut orang-orang yang ditemui, layaknya obrolan santai bersama sanak saudara saat sedang berkumpul di sore hari.
Namun setelah itu, Nanfu juga mengajak penonton menyelami pemikiran petugas pemerintahan yang dengan bangga menjalankan program aborsi, menunjukkan betapa efektif propaganda tersebut "mencuci otak" warga.
Enggan berhenti di situ, Nanfu memakai nalurinya untuk terus mengikuti efek domino dari kebijakan tersebut, hingga menelusuri jejak perdagangan anak yang ternyata juga didalangi pemerintah.
Dari China, Nanfu terbang ke Amerika Serikat, hingga kemudian mendarat di Hong Kong untuk mengikuti jejak sisa dampak kebijakan cuci otak tersebut.
Tak banyak dokumenter soal kebijakan satu anak di China yang dapat mengaitkan sederet fenomena itu menjadi satu suguhan narasi seperti One Child Nation.
Ambil contoh dokumenter lainnya yang menyinggung soal kebijakan kontroversial tersebut, It's A Girl. Dengan durasi satu jam, film tersebut membahas keadaan di dua negara sekaligus, yaitu India dan China.
It's A Girl hanya merangkum keterangan keluarga korban dan kisah pilu mereka. Tak ada pembahasan mendalam soal dampak laten dari propaganda tersebut dan masalah turunannya hingga perdagangan anak yang diorkestrasi pemerintah.
Bicara soal orkestra, musik latar One Child Nation juga berperan penting dalam menggugah emosi penonton. Acung jempol untuk Nathan Halpern dan Chris Ruggiero.
Tak hanya lewat musik, One Child Nation juga menghipnotis penonton dengan sinematografi nan apik.
Sebut saja permainan kamera kala Nanfu mengunjungi seniman untuk menggali perspektif lebih dalam, atau pengambilan gambar saat menunjukkan kumpulan foto bayi yang diperdagangkan.
Sebagai sutradara, editor, produser, dan sinematografer, Nanfu Wang berhasil membuat dokumenter dengan keteguhan hati jurnalis dan mata seorang seniman.- GLXgames
Tulisan berwarna merah darah tersebut terlukis di tembok-tembok di berbagai penjuru desa di China pada medio 1980-an.
Lahir dan tumbuh di pinggiran China pada era tersebut, Nanfu Wang tak pernah menyadari kebrutalan dan bahaya laten akibat propaganda pemerintah itu. Hingga akhirnya, Nanfu melahirkan anak sendiri dan mengetahui ikatan kuat antara seorang ibu dan sang buah hati.
Ia lantas membidani kelahiran dokumenter bertajuk One Child Nation, sebuah film yang berhasil menumbuhkan perspektif komprehensif akan bahaya laten kebijakan satu anak di China, dalam balut hangat empati dan sinematografi apik.
Dikutip Omnia Slot, Secara garis besar, film ini merekam perjalanan Nanfu menggali kembali memori akan satu propaganda yang diterapkan oleh pemerintah China pada 1979 hingga 2015.
Kala itu, China dirundung masalah populasi berlebih. Dengan dalih menghindari bencana kelaparan besar-besaran di kemudian hari, Negeri Tirai Bambu menerapkan kebijakan satu anak per keluarga inti.
Pemerintah menghalalkan segala cara agar kebijakan tersebut tetap berjalan, termasuk dengan mengaborsi paksa ibu yang kedapatan memiliki lebih dari satu anak.
Berangkat dari pengalamannya sendiri, Nanfu membawa penonton masuk ke dalam kisah mengenai kebijakan dingin pemerintah itu dari perspektif penuh kehangatan, berbeda dengan dokumenter soal "satu anak" lainnya yang cenderung kaku.
Melalui bincang hangat dengan ibunya di ruang keluarga, diskusi ringan antartetangga bersama kepala desanya, hingga curhat bidan yang mengaborsi ratusan ribu bayi, Nanfu berhasil menghadirkan sudut pandang berbeda dari dokumenter pada umumnya.
Jika dalam sejumlah dokumenter singkat lainnya penegak kebijakan selalu dibingkai hanya sebagai pihak keji, Nanfu dapat menggali kisah sentimentil yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka juga menjadi korban kekejian propaganda pemerintah.
Kepala desa terpaksa melawan rasa kemanusiaannya, sementara sang bidan harus hidup dalam trauma dan rasa ingin membayar semua nyawa.
Baca Juga : " Menpora Minta Persikabo dan PSSI Taat Hukum Soal Sponsor Judi "
Meski kontennya berat, semua kisah meluncur begitu saja dari mulut orang-orang yang ditemui, layaknya obrolan santai bersama sanak saudara saat sedang berkumpul di sore hari.
Namun setelah itu, Nanfu juga mengajak penonton menyelami pemikiran petugas pemerintahan yang dengan bangga menjalankan program aborsi, menunjukkan betapa efektif propaganda tersebut "mencuci otak" warga.
Enggan berhenti di situ, Nanfu memakai nalurinya untuk terus mengikuti efek domino dari kebijakan tersebut, hingga menelusuri jejak perdagangan anak yang ternyata juga didalangi pemerintah.
Dari China, Nanfu terbang ke Amerika Serikat, hingga kemudian mendarat di Hong Kong untuk mengikuti jejak sisa dampak kebijakan cuci otak tersebut.
Tak banyak dokumenter soal kebijakan satu anak di China yang dapat mengaitkan sederet fenomena itu menjadi satu suguhan narasi seperti One Child Nation.
Ambil contoh dokumenter lainnya yang menyinggung soal kebijakan kontroversial tersebut, It's A Girl. Dengan durasi satu jam, film tersebut membahas keadaan di dua negara sekaligus, yaitu India dan China.
It's A Girl hanya merangkum keterangan keluarga korban dan kisah pilu mereka. Tak ada pembahasan mendalam soal dampak laten dari propaganda tersebut dan masalah turunannya hingga perdagangan anak yang diorkestrasi pemerintah.
Bicara soal orkestra, musik latar One Child Nation juga berperan penting dalam menggugah emosi penonton. Acung jempol untuk Nathan Halpern dan Chris Ruggiero.
Tak hanya lewat musik, One Child Nation juga menghipnotis penonton dengan sinematografi nan apik.
Sebut saja permainan kamera kala Nanfu mengunjungi seniman untuk menggali perspektif lebih dalam, atau pengambilan gambar saat menunjukkan kumpulan foto bayi yang diperdagangkan.
Sebagai sutradara, editor, produser, dan sinematografer, Nanfu Wang berhasil membuat dokumenter dengan keteguhan hati jurnalis dan mata seorang seniman.- GLXgames
Komentar
Posting Komentar